asatoe.co, Sumenep – 9 Februari merupakan hari bersejarah bagi insan pers di Indonesia. Pasalnya, hari ini diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN) sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden RI No. 5 tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada tanggal 23 Januari 1985.
Lebih dari sekadar perayaan seremonial, HPN juga jadi momentum refleksi bagi mereka yang bekerja sebagai wartawan atau jurnalis. Mengingat dalam perkembangannya, tantangan insan pers di Indonesia semakin kompleks.
Bukan hanya soal sikap independensi wartaean yang sering digoyah saat menjalankan kerja jurnalistiknya, atau hati nurani mereka yang sering dieksploitasi oleh kepentingan kapital perusahaan. Lebih dari itu, profesi jurnalis belakangan juga sering ‘dicatut’ oleh oknum-oknum tertentu seiring semakin derasnya arus informasi.
Saat ini, jumlah wartawan–dan mereka yang mengaku-ngaku–sudah begitu banyak. Atas nama ‘kepentingan publik’ dan untuk mendapat informasi, mereka berseleweran di mana-mana: mulai di balai desa hingga istana presiden.
Di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, misalnya. Saat ini jumlah wartawan, dan oknum yang mungkin mengaku-ngaku sebagai wartawan, jumlahnya mencapai ratusan orang.
Fenomena ini terjadi, salah satunya diduga, karena profesi wartawan atau jurnalis dianggap mudah; hanya cukup bermodal kartu pers, tanpa mempertimbangkan kualitas diri dan tanggung jawab yang harus diembannya.
Padahal, menurut Ketua Komunitas Jurnalis Sumenep (KJS) Ahmad Sa’ie pekerjaan wartawan atau jurnalis bukan pekerjaan yang mudah. Bukan hanya karena tak mengenal waktu atau selalu dihadapkan pada dealine. Lebih dari itu, pekerjaan terberat seorang juru warta adalah menjaga standar moral dalam melaksakanan kerja jurnalistiknya.
“Wartawan atau jurnalis tidak bisa hanya bermodal kartu pers atau surat tugas dari perusahaan dia bekerja. Juga tidak bisa hanya bermodal pengakuan dari pihak tertentu hanya karena kenal secara person. Apalagi hanya pengakuan dari dirinya sendiri,” tegas dia.
Menurut kontributor TVRI ini, kewajiban pertama jurnalis adalah menyampaikan kebenaran yang bisa dipraktikkan dan fungsional, sebagai inti dari berita yang ditulis dan disebarkan melalui medianya masing-masing.
Hal lain yang harus selalu diingat, pada dasarnya pekerjaan seorang jurnalis bukan untuk mendulang cuan perusahaan. Buka pula semata-mata untuk menebalkan dompet pribadinya. Lebih dari itu, jurnalis bekerja untuk kepentingan masyarakat terhadap informasi.
“Karena salah satu naluri dasar masyarakat ialah mengetahui hal-hal atau informasi di luar pengalamannya untuk memberi mereka rasa aman serta membuat mereka bisa merencanakan dan mengatur hidup mereka,” katanya.
Hal lain yang membuat pekerjaan wartawan tak semudah mencetak kartu pers adalah karena ia harus disiplin verifikasi. Wartawan tak bisa menulis berita secara merawak rambang tanpa menguji lebih dulu setiap detil informasi yang didapat di lapangan.
“Tahu tata cara menulis berita yang benar menurut ‘polisi bahasa’ itu tidak cukup menjadi seorang jurnalis, kalau dia tidak bisa disiplin verifikasi,” tambah pria yang akrab disapa Sa’ie ini.
Menurut dia, masih banyak hal lain yang bisa menggambarkan bahwa, pekerjaan wartawan tak semudah mengurus administrasi pendirian pers. Misalnya, wartawan hadus independen dari pihak yang diliputnya dan wartawan harus bisa memantau kekuasaan serta menjadi penhambung mereka yang tertindas.
“Sebenarnya, selain karena profesi wartawan yang dianggap mudah, ada faktor lain yang membuat banyak oknum mengaku-ngaku wartawan. Salah satunya, kalau dalam konteks Sumenep, terlalu longgarnya pemerintah dalam membuat kerja sama publikasi,” lanjutnya.
Terkait hal itu, atas nama organisasi KJS, Sa’ie menyampaikan beberapa rekomendasi kepada Pemkab Sumenep untuk menekan semakin menjamurnya oknum mengaku wartawan.
Pertama, Pemkab Sumenep bersama jajarannya harus bisa memastikan bahwa, hanya wartawan yang jelas media dan karya jurnalistiknya yang dilayani untuk kebutuhan wawancara.
Kedua, Pemkab Sumenep hanya bekerja sama dengan media yang berita-beritanya betul-betul memenuhi standar jurnalistik, dan tidak bekerja sama dengan perorangan (atas nama wartawan).
Ketiga, pola kerja sama publikasi kegiatan Pemkab Sumenep dengan media harus berasaskan profesionalistas, bukan kedekatan personal demi menjaga kondusifitas.