asatoe.co, Jakarta – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, MH Said Abdullah, menilai Indonesia memiliki kemampuan menghadapi tekanan eksternal di tengah ketidakpastian global yang dipicu perang konvensional maupun perang dagang.
Menurut Said, pemerintah perlu menyusun asumsi ekonomi makro yang realistis namun tetap memberi harapan agar perekonomian nasional tumbuh inklusif. Ia juga menekankan pentingnya kebijakan fiskal yang adaptif, komprehensif, dan efektif.
“Setiap krisis sekecil apa pun harus ditempatkan sebagai peluang untuk memperbaiki tatanan ekonomi. Kecepatan merespons menjadi bukti kita mampu menjawab tantangan,” ujar Said di Jakarta.
Meski tantangan global masih berat, IMF memperkirakan ekonomi dunia tahun 2026 akan tumbuh 3 persen, lebih tinggi dibanding 2,8 persen pada 2025. Negara berkembang pun diproyeksikan tumbuh 3,9 persen tahun depan. Said menilai, tren ini membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan kinerja ekonomi.
Ia menyoroti pentingnya kemandirian pangan dan energi sebagai jawaban atas tren proteksionisme global. Menurutnya, strategi defensif dengan defisit APBN tidak cukup, pemerintah juga harus mengambil langkah ofensif.
“India punya cadangan minyak strategis. Kita apa? Itu yang harus kita jawab,” tegas politisi senior PDI Perjuangan itu.
Said mencatat, pada kuartal I 2025 sektor pertanian tumbuh 10,52 persen dan peternakan 8,8 persen, sementara ekspor naik 6,6 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya.
Capaian ini, katanya, menjadi modal awal pemerintahan Presiden Prabowo untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih berkelanjutan.
Namun, ia mengingatkan dampak perang dagang, terutama setelah Presiden Donald Trump menaikkan tarif perdagangan, bisa mengguncang ekspor global.
Oleh karena itu, Indonesia harus menjaga neraca perdagangan tetap positif serta memperluas pasar di luar Amerika Serikat dan Tiongkok.
Di sisi investasi, Said mencatat pertumbuhan kuartal I 2025 hanya mencapai 2,12 persen. Investor lebih memilih aset aman seperti emas dan mata uang global.
Meski begitu, ia menilai situasi ini bisa menjadi peluang jika pemerintah mampu menyiapkan strategi investasi yang komprehensif dan memberi kepastian imbal hasil, khususnya di sektor riil.
Mengenai nilai tukar rupiah, Said menilai depresiasi memberi peluang peningkatan devisa dari ekspor, namun juga menimbulkan biaya impor yang lebih tinggi.
Karena itu, ia mendorong pemerintah dan Bank Indonesia memperluas penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan internasional.
Terkait RAPBN 2026, pemerintah menargetkan pendapatan negara sebesar Rp3.147,7 triliun, naik Rp282,2 triliun dari target 2025. Penerimaan perpajakan ditetapkan Rp2.692 triliun. Said mendukung target ini, tetapi mengingatkan agar tidak dicapai dengan menaikkan tarif pajak.
“Jangan berburu di kebun binatang, tapi perluas kebunnya. Artinya, perbanyak dan besarkan pelaku usaha sehingga kontribusi pajak meningkat,” katanya.
Ia juga menyoroti penurunan transfer ke daerah dan desa yang turun dari Rp919 triliun pada 2025 menjadi Rp650 triliun di RAPBN 2026. Menurutnya, kebijakan ini berpotensi menghambat pelayanan publik di daerah dan bertentangan dengan semangat otonomi daerah.
Selain itu, Said menekankan pentingnya pemutakhiran data kemiskinan berbasis Purchasing Power Parity (PPP) agar kebijakan penanggulangan kemiskinan lebih tepat sasaran.
Ia menutup dengan mengingatkan pemerintah agar program besar seperti MBG, Koperasi Merah Putih, dan Sekolah Rakyat benar-benar menjadi game changer.
“Kuncinya ada pada tata kelola yang akuntabel, transparan, dan partisipatif. Jangan sampai kita kehilangan waktu dan sumber daya sia-sia,” pungkasnya. (*)