asatoe.co, Sumenep – Komunitas Masyarakat Peduli Errabu (KOMPER) merespon surat Inspektorat Kabupaten Sumenep terkait laporan hasil perkembangan pengaduan dana desa(DD) Desa Errabu, Kecamatan Bluto, Kabupaten Sumenep, yang dikeluarkan Inspektorat tertanggal 15 Juni 2021.
Inspektorat dalam kajiannya menyebut pembangunan pasar dan pembelian tanah untuk pembangun Polindes sudah terealisasi. Sementara untuk pembangunan proyek rabat beton 2016 sudah terealisasi, namun ada kelebihan bayar. Atas kelebihan bayar tersebut, Inspektorat menyebut Pemerintah Desa Errabu akan mengembalikanya ke kas desa.
Atas poin-poin tersebut, KOMPER menilai hasil kajian Inspektorat Sumenep justru bertolak belakang dari substansi laporannya.
“Inspektorat seperti tidak paham terhadap substansi persoalan yang dilaporkan KOMPER dan cenderung mengabaikan fakta-fakta yang ada di lapangan, serta terkesan mengambil keputusan berdasarkan keterangan sepihak,” demikian bunyi rilis yang diterima media pada Senin (29/6/2021).
KOMPER menyebut Inspektorat hanya melihat laporan dari kacamata proyek tersebut terealisasi atau tidak. “Padahal bukan sekadar itu substansi laporan kami,” tulis rilis tersebut.
Pertama, pengadaan tanah untuk pembangunan Polindes pada 2018. Pembelian ini dinilai sangat janggal karena Polindes di Desa Errabu sudah ada sebelum tahun 2018 dan dibangun di atas tanah negara. Inspektorat seharusnya mempertanyakan urgensi dan keperluan sebenarnya untuk apa.
“KOMPER bukan mempersoalkan pengadaan tanah Polindes itu terealisasi atau tidak, tetapi pengadan tanah itu untuk apa? Sebab, Polindes sudah dibangun sebelum 2018 dan berdiri di atas tanah negara. Jadi, pengadaan tanah untuk Polindes itu jelas-jelas tidak perlu. Semakin jadi persoalan dan berpotensi melawan hukum ketika pengadaan tanah itu direalisasikan,” tegasnya.
“Kalau pengadaan tanah untuk pembangunan kios dan kantor Bumdes, kenapa judulnya jadi pengadaan tanah untuk pembangunan Polindes, bahkan sertifikatnya pun atas nama Polindes?” lanjut rilis tersebut.
Kedua, KOMPER menilai Inspektorat dalam laporannya juga telah mengubah diksi dari pemeliharaan pasar jadi pembangunan kios. Padahal, pemeliharaan dan pembangunan itu merupakan dua hal yang berbeda.
“Di APBDes itu tertulis jelas pemeliharaan, bukan pembangunan. Jadi, secara penamaan ini sudah salah,” tukasnya.
Ketiga, KOMPER juga memertanyakan poin kelebihan bayar pada proyek rabat beton 2016. “Itu bukan kelebihan bayar, tetapi jelas penyelewengan. Karena antara laporan dengan fakta di lapangan itu sudah tidak sesuai speknya. Dan karena penyelewengan, maka konsekuensinya bukan dengan mekanisme pengembalian, tapi proses hukum. Karena itu sudah masuk pidana,” tulisnya.
Sebab itu, KOMPER menuntut Inspektorat untuk melimpahkan kasus tersebut ke penegak hukum dan menolak diselesaikan hanya dengan mekanisme pengembalian dana.
“Pasal 4 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3 Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” jelasnya.
Sehingga, lanjut rilis tersebut, tidak ada alasan bagi penegak hukum untuk tidak melanjutkan proses hukum tindak pidana korupsi meski pelaku sudah mengembalikan uang hasil korupsinya.
“Lagi pula, tindak pidana korupsi itu merupakan delik formil. Artinya, ketika perbuatan pelaku telah memenuhi unsur pidana korupsi, maka pelaku sudah bisa dipidana, tidak perlu harus timbul akibat. Delik formil itu meski uang hasil korupsinya sudah dikembalikan tetap bisa dipidana karena perbuatan korupsinya sudah terjadi meski akhirnya uang hasil korupsinya dikembalikan. Jadi, pengembalian hasil korupsi itu tidak bisa menghapus pidananya,” tegasnya.
“Terlalu aneh, proyek yang sudah dikerjakan 5 tahun lalu baru ketahuan sekarang kalau ada kelebihan bayar. Itu pun setelah ada laporan. Jadi pertanyaan, bagaimana sebenarnya sistem pengawasannya? Siapa yang bisa memastikan bahwa ini hanya sekedar kelebihan bayar? Kenapa baru sadar setelah 5 tahun kalau ada kelebihan bayar?” tanyanya.
Terpisah, DPD Lira Sumenep, Hamsun, angkat bicara terkait hasil kajian Inspektorat, pihaknya akan siap mendapingi Warga Desa Errabu dan akan mengawal kasus ini sampai tuntas untuk mendapatkan kejelasan.
“Kami DPD Lira Sumenep akan kawal terus kasus dugaan korupsi ADD dan DD di Desa Errabu,” kata mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Pamekasan itu.
Selain itu, pihaknya melihat dari laporan warga, memang patut diduga terjadi penyelewengan dalam tata kelola Dana Desa dan Alokasi Dana Desa. “Misalnya contoh, dalam konteks pembelian tanah untuk pembangunan Polindes pada 2018 seharga Rp 48 juta. Polindes ini nyatanya dibangun di atas tanah pecaton. Kemudian ada lagi biaya pemeliharaan pasar sebesar Rp 250 juta pada 2019 dan Rp 22 juta pada 2020.
“Apabila tidak ada kejelasan secara hukum dari pihak-pihak terkait maka kami akan segera mengambil sikap untuk advokasi” pungkas hamsun