Mbah Wahab, Cak Imin dan Meriam NU

Umaruddin Masdar, S.A.g, Koordinator Nasional Densus 26 NU, Pengasuh Majlis Zikir Hayatan Thoyyibah, DIY.
Umaruddin Masdar, S.A.g, Koordinator Nasional Densus 26 NU, Pengasuh Majlis Zikir Hayatan Thoyyibah, DIY

Oleh : Umaruddin Masdar, S.A.g, Koordinator Nasional Densus 26 NU, Pengasuh Majlis Zikir Hayatan Thoyyibah, DIY

MENILIK kilas balik sejarah pada tahun 1950-an kita mengenal KH. A. Wahab Chasbullah (pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur) sebagai “Panglima Tinggi” Nahdlatul Ulama dan sekarang Ketua Umum PKB A. Muhaimin Iskandar yang dijuluki “Panglima Santri”. Sebutan “Panglima” disematkan para kiai dan warga Nahdlatul Ulama kepada keduanya, karena ditakdirkan mempunyai cita-cita besar dan perjuangan yang bisa dikatakan sama, walaupun keduanya hidup di era yang berbeda, yakni menyatukan perjuangan politik Nahdliyyin dalam satu barisan (fi shaffin wahid).

Bacaan Lainnya

Pada awal 1950-an, Mbah Wahab berjuang keras menyatukan politik NU dalam satu wadah, yakni menjadi partai politik yang berdiri sendiri dan tidak menitipkan aspirasi kepada partai atau kekuatan lain di luar NU. Mbah Wahab haqqul yaqin bahwa NU adalah kekuatan yang sangat besar, baik dari sisi peradaban, tradisi, maupun jamaah.

Namun cita-cita besar Mbah Wahab tidak hanya ditentang oleh beberapa politisi NU, bahkan oleh kekuatan di luar NU yang ingin terus memanfaatkan NU. Orang NU yang menolak gagasan Mbah Wahab karena ragu terhadap kekuaatan dan kebesaran NU atau karena sudah merasa nyaman menitipkan atau numpang kepada kekuatan politik lain di luar NU.

Terhadap yang ragu akan kekuatan NU, Mbah Wahab menjawab dengan keras: “Banyak pemimpin NU di daerah-daerah, juga pusat, tidak yakin dengan kekuatan NU, mereka lebih meyakini kekuatan golongan lain. Mereka terpengaruh bisikan orang yang menghembuskan propaganda agar tidak yakin dengan kekuatan yang dimilikinya. NU itu ibarat senjata adalah “Meriam”, betul-betul meriam. Tapi digoncangkan hati mereka oleh propaganda yang menghasut seolah-olah senjata itu bukan meriam, tapi hanya gelugu. Pemimpin NU yang tidak mengerti, tidak sadar siasat lawan dalam menjatuhkan NU dengan cara membuat elit NU ragu akan kekuatan sendiri.”

Pada Muktamar ke-19 NU di Palembang tahun 1952, saat masih ada yang ragu dengan kekuatan NU untuk menjadi partai politik sendiri, Mbah Wahab berkata dengan lantang: “Silahkan Saudara tetap di Masyumi, saya akan sendirian mendirikan Partai NU dan hanya butuh seorang sekretaris. NU akan menjadi partai besar.”

Perjuangan Mbah Wahab akhirnya berhasil. Muktamar di Palembang memutuskan NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik sendiri. Keyakinan Mbah Wahab juga 100% terbukti pada Pemilu 1955 dengan perolehan kursi NU di DPR melonjak dari 8 (saat bergabung dengan Masyumi) menjadi 45 atau naik 462 persen.

Perjuangan besar Mbah Wahab itu saat ini dilanjutkan oleh Cak Imin. Saat ada segelintir orang NU yang ragu dengan kekuatan NU atau ada yang merasa lebih nyaman dengan menitipkan aspirasi atau numpang pada kekuatan politik lain, Panglima Santri terus menggelorakan semangat Nahdliyyin Bersatu.

Ketika beberapa pemimpin NU ragu dengan kebesaran dan kekuatan meriam NU, Panglima Santri justru menyatakan siap menjadi calon presiden atau wakil presiden. Cak Imin sedang meyakinkan para pemimpin NU, bahwa sebagai ormas Islam terbesar di dunia mengapa untuk menjadi capres saja ragu?. Cak Imin ingin meyakinkan kita bahwa NU adalah organisasi besar, baik dari sisi peradaban/legacy, tradisi dan pandangan dunianya yang kosmopolit, maupun dari sisi jumlah pengikutnya.

Kebesaran peradaban NU dicatat oleh cendekiawan Barat jauh sebelum Indonesia merdeka, Snouck Hurgronje. Ia menulis: Islam tradisional (NU) tampaknya terbelakang, tapi sesungguhnya sangat berkemajuan dan dinamis. Kemajuan & dinamikanya demikian bertahap-tahap, rumit, dan demikian dalam tersimpan, tidak akan dilihat kecuali oleh mereka yang mengamatinya dengan sangat seksama.

Allan A Samson dalam buku “Political Power and Communication in Indonesia” (1978: 212) juga mencatat: NU yang disebut tradisional justru sangat fleksibel dan adaptif terhadap gagasan-gagasan modern dalam bidang politik dan kenegaraan, organisasi modern seperti Masyumi justru kaku, tidak fleksibel.

NU juga besar dari segi jumlah pengikut. Hasil riset yang dikeluarkan oleh lembaga Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada 2019: NU didaulat sebagai ormas terbesar di Indonesia. Hasil survei LSI Denny JA menyebut jumlah pengikut NU adalah 49,5% dari umat Islam Indonesia. Belum termasuk simpatisan NU.

Survei Poltracking Indonesia pada 2021 juga menyebutkan bahwa basis massa NU sangat besar. Terdapat 41,9% responden warga Indonesia secara terbuka mengaku terafiliasi atau merasa sebagai Nahdliyin.

Jika saat ini total penduduk Indonesia berjumlah kurang lebih 250 juta jiwa, dengan jumlah penduduk muslim 87%, maka NU dengan persentase 49,5% yang dimiliki, memiliki basis massa berjumlah kurang lebih 108 juta orang. Pak Jokowi menang Pilpres 2019 dg 85,6jt. Suara NU kalau bersatu 108 juta.

Kebesaran NU dari segi peradaban dan pengikut itu akan sangat terasa apabila NU bersatu. Dalam bahasa santri jika NU bersatu (dhommah), maka NU akan rofa’; akan menang; jaya dan selalu di atas. Jika NU pecah (kasroh), maka selamanya akan tertinggal. Karena kasroh selalu di bawah.

Jika NU memilih terbuka (fathah), maka ia akan mansub. Nasibnya ditentukan kekuatan lain. Maka ada kiai sepuh NU yang lebih suka menyebut NO bukan NU, sesuai ejaan lama. Karena kata beliau kalau NO — pake O — ormas ini akan rapat, dan solid. Kalau — U — terbuka, mudah disusupi.

NU sungguh besar, benar-benar besar. Cita-cita Mbah Wahab yang ingin menyatukan NU di zaman dulu, dan cita-cita Cak Imin tentang Nahdliyyin Bersatu saat ini merupakan cita-cita yang muncul dari pemimpin NU tulen yang tidak pernah ragu sedikit pun terhadap kebesaran NU. Wallahu A’lam wa Huwal Musta’an.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *